Sabtu, 16 Juni 2018

JADILAH GENERASI RABBANI YANG ISTIQOMAH # 1 (Tulisan ke-11)

Tanpa terasa, bulan Ramadhan telah pergi meninggalkan kita, tentunya sebagian dari kita merasa sedih dan berat hati ketika bulan suci Ramadhan ini berlalu. Hal ini sejalan dengan sikap para salafush shalih, yang sedih dan mencucurkan air matanya menjelang akhir bulan Ramadhan, mengharapkan pertemuan kembali dengan Ramadhan selanjutnya. Nah, di dalam menyikapi berlalunya bulan suci Ramadhan ini, ada 2 sifat orang muslim yang perlu kita pahami, yaitu “Rabbani” dan “Ramadhani”. 

Kata “Rabbani” diambil dari kata Rabb yang memiliki makna antara lain Sang pengatur, pendidik dan pemelihara makhluk, yaitu Allah -subhanahu wa ta’ala-. “Rabbani” merujuk kepada sifat/perilaku seorang muslim yang senantiasa menjalankan ketaatan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- sepanjang waktu. Hamba “Rabbani” mampu belajar istiqomah selama bulan suci Ramadhan sebagai bekal untuk memelihara keimanan dan ketakwaan di 11 bulan berikutnya (Baca Tulisan ke-8: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 1 dan Tulisan ke-9: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 2).

Adapun kata “Ramadhani” diambil dari nama bulan yaitu Ramadhan. “Ramadhani” merujuk kepada sifat/perilaku seorang muslim yang beribadah secara musiman saja yaitu di bulan Ramadhan sebagai ibadah ritual tahunan. Hamba “Ramadhani” tidak mampu belajar istiqomah selama bulan suci Ramadhan. Peningkatan ketaatan Hamba “Ramadhani” hanya berlangsung secara temporer/sementara saja pada bulan Ramadhan, namun kembali menurun dan berkurang diluar bulan ramadhan. 

Dari penjabaran kedua sifat tersebut diatas, tentunya kita dapat menilai diri kita masing-masing, apakah termasuk hamba “Rabbani” atau hamba “Ramadhani”? Sebagai indikator sederhananya kita dapat melihat dan mengukur kuantitas dan kualitas amal ibadah yang kita laksanakan pasca bulan Ramadhan, apakah tetap terjaga dan terpelihara (istiqomah) atau malah sebaliknya tidak terjaga dan tidak terpelihara sehingga cenderung mengalami penurunan?.

Apabila dari hasil penilaian tersebut, ternyata kita masih termasuk hamba “Ramadhani” maka sudah sepatutnya kita munculkan pertanyaan berikutnya ke diri kita, sudah berapa lama (berapa tahun) kita telah menjadi golongan hamba “Ramadhani” ini? Lalu, sampai kapankah kita akan tetap berada di golongan hamba “Ramadhani” ini? Dari sini kita juga bisa menyimpulkan arah perubahan diri kita selama ini, apakah ke arah yang lebih baik (positif), ke arah yang lebih buruk (negatif) ataukah tetap/stagnan (Baca Tulisan ke-2: Perubahan Diri Yang Lebih Baik (Positif) Di Tahun 2018).

Sesungguhnya, pilihan utama dan terbaik  bagi seorang muslim adalah menjadi Hamba “Rabbani”, yang istiqomah di dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- demi  melaksanakan tujuan hidupnya yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Allah -subhanahu wa ta’ala- mencintai Hamba “Rabbani” dengan amalan yang istiqomah dibandingkan Hamba Ramadhani, yang hanya melaksanakan amalan secara sesaat di bulan Ramadhan namun tidak istiqomah (Baca Tulisan ke-7: Momentum Perubahan Diri Tercipta Dari Kontinuitas Amalan/Tindakan).

Oleh karena itu, para ulama salafush shalih berpesan ”Kun rabbaniyyan wala takun Ramadhaniyyan”, (Jadilah hamba yang “Rabbani” dan janganlah menjadi hamba yang “Ramadhani”).  Hamba-hamba “Rabbani” inilah yang nantinya akan membentuk generasi “Rabbani” yang memiliki kecintaan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wasallam- dan tergambar dari ketaatan dan komitmennya untuk menjalankan perintah Allah -subhanahu wa ta’ala- dan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wasallam-.

Semoga kita selalu diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah -subhanahu wa ta’ala- untuk menjadi generasi “Rabbani”, sehingga kita bisa meraih derajat ketakwaan di sisiNya dengan penuh istiqomah serta dimasukkan ke dalam SurgaNya kelak di Yaumil Akhir. Aamiin… Aamiin… Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…


“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya’.” (QS. Ali ‘Imran [3]:79).



Baca Tulisan Lainnya:

Minggu, 10 Juni 2018

ISTIQOMAH, KUNCI MERAIH MALAM LAILATUL QADAR (Tulisan ke-10)

Sudahkah Anda belajar istiqomah selama bulan Ramadhan ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yg dipersiapkan khusus oleh Allah -subhanahu wa ta'ala- bagi kita untuk belajar istiqomah didalam ketakwaan kepada Allah -subhanahu wa ta'ala- (Baca Tulisan ke-8: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 1 dan Tulisan ke-9: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 2). Di bulan ini, berbagai macam keutamaan, pahala dan ampunan dari Allah bertebaran memenuhi setiap ruang dan waktu, untuk diberikan kepada orang-orang yang beriman.

Salah satu keutamaan yang ada di dalam bulan Ramadhan adalah adanya malam Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang dimuliakan oleh Allah -subhanahu wa ta'ala- melebihi malam-malam lainnya. Saking istimewanya malam inimaka kedatangannya menjadi rahasia Allah -subhanahu wa ta'ala-, kita tidak pernah tahu kapan pastinya malam Lailatul Qadar akan datang. Namun demikian, para ulama menjelaskan bahwa malam Lailatul Qadar terdapat pada salah satu malam ganjil di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Untuk dapat meraih malam Lailatul Qadar maka dibutuhkan sikap istiqomah sebagai kunci utama dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah -subhanahu wa ta'ala-Hal ini sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta'ala-, sehingga pelaksanaan ibadah bukan hanya terfokus pada bulan tertentu saja (misal di bulan Ramadhan) tetapi sejatinya dapat dilaksanakan sepanjang tahun selama hayat kita (secara istiqamah)

Orang yang memiliki sikap istiqamah akan diberikan pahala yang luar biasa, terlebih pada malam Lailatur Qadar.  Jika pahala istiqomah di hari-hari lainnya tatkala kita tidak melaksanakan suatu ibadah rutin karena terdapat halangan/uzur tertentu adalah tetap/sama pahala amalannya. Berbeda dengan di malam lailatul qadar dimana pahala istiqomah yang dilaksanakan pada malam lailatul qadar tersebut akan mendapatkan pahala ibadah yang berlipatganda, sebanding dengan pahala amalan yang dilakukan secara terus menerus selama seribu bulan (83 tahun).

Semoga kita selalu diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah -subhanahu wa ta'ala- untuk mendapatkan keutamaan malam Lailatul Qadar, sehingga kita bisa meraih derajat ketakwaan di sisiNya dengan penuh istiqomah serta dimasukkan ke dalam SurgaNya kelak di Yaumil Akhir. Aamiin… Aamiin… Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…



"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS. Al Qadr [97] : 1-5).



Baca Tulisan Lainnya: