Tanpa terasa, bulan Ramadhan telah pergi meninggalkan kita, tentunya
sebagian dari kita merasa sedih dan berat hati ketika bulan suci Ramadhan ini
berlalu. Hal ini sejalan dengan sikap para salafush shalih, yang sedih dan
mencucurkan air matanya menjelang akhir bulan Ramadhan, mengharapkan pertemuan
kembali dengan Ramadhan selanjutnya. Nah, di dalam menyikapi berlalunya bulan
suci Ramadhan ini, ada 2 sifat orang muslim yang perlu kita pahami, yaitu
“Rabbani” dan “Ramadhani”.
Kata “Rabbani” diambil dari kata Rabb yang memiliki makna antara
lain Sang pengatur, pendidik dan pemelihara makhluk, yaitu Allah -subhanahu wa ta’ala-. “Rabbani” merujuk
kepada sifat/perilaku seorang muslim yang senantiasa menjalankan ketaatan
kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- sepanjang
waktu. Hamba “Rabbani” mampu belajar istiqomah selama bulan suci Ramadhan sebagai
bekal untuk memelihara keimanan dan ketakwaan di 11 bulan berikutnya (Baca
Tulisan ke-8: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 1 dan Tulisan
ke-9: Belajar Istiqomah Selama Bulan Suci Ramadhan # 2).
Adapun kata “Ramadhani” diambil dari nama bulan yaitu Ramadhan. “Ramadhani”
merujuk kepada sifat/perilaku seorang muslim yang beribadah secara musiman saja
yaitu di bulan Ramadhan sebagai ibadah ritual tahunan. Hamba “Ramadhani” tidak
mampu belajar istiqomah selama bulan suci Ramadhan. Peningkatan ketaatan Hamba
“Ramadhani” hanya berlangsung secara temporer/sementara saja pada bulan
Ramadhan, namun kembali menurun dan berkurang diluar bulan ramadhan.
Dari penjabaran kedua sifat tersebut diatas, tentunya kita dapat
menilai diri kita masing-masing, apakah termasuk hamba “Rabbani” atau hamba “Ramadhani”?
Sebagai indikator sederhananya kita dapat melihat dan mengukur kuantitas dan
kualitas amal ibadah yang kita laksanakan pasca bulan Ramadhan, apakah tetap
terjaga dan terpelihara (istiqomah) atau malah sebaliknya tidak terjaga dan
tidak terpelihara sehingga cenderung mengalami penurunan?.
Apabila dari hasil penilaian tersebut, ternyata kita masih termasuk
hamba “Ramadhani” maka sudah sepatutnya kita munculkan pertanyaan berikutnya ke
diri kita, sudah berapa lama (berapa
tahun) kita telah menjadi golongan hamba “Ramadhani” ini? Lalu, sampai kapankah
kita akan tetap berada di golongan hamba “Ramadhani” ini? Dari sini kita
juga bisa menyimpulkan arah perubahan diri kita selama ini, apakah ke arah yang
lebih baik (positif), ke arah yang lebih buruk (negatif) ataukah tetap/stagnan
(Baca Tulisan ke-2: Perubahan Diri Yang Lebih Baik (Positif) Di Tahun 2018).
Sesungguhnya, pilihan utama dan terbaik bagi seorang muslim adalah menjadi Hamba “Rabbani”,
yang istiqomah di dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- demi melaksanakan tujuan hidupnya
yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Allah -subhanahu wa ta’ala- mencintai Hamba “Rabbani” dengan amalan yang
istiqomah dibandingkan Hamba Ramadhani, yang hanya melaksanakan amalan secara
sesaat di bulan Ramadhan namun tidak istiqomah (Baca Tulisan ke-7: Momentum Perubahan Diri Tercipta Dari Kontinuitas Amalan/Tindakan).
Oleh karena itu, para ulama salafush shalih berpesan ”Kun rabbaniyyan wala takun Ramadhaniyyan”,
(Jadilah hamba yang “Rabbani” dan janganlah menjadi hamba yang “Ramadhani”). Hamba-hamba “Rabbani” inilah yang nantinya
akan membentuk generasi “Rabbani” yang memiliki kecintaan kepada
Allah -subhanahu wa ta’ala- dan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wasallam- dan
tergambar dari ketaatan dan komitmennya untuk menjalankan perintah Allah -subhanahu wa ta’ala- dan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wasallam-.
Semoga kita selalu diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah -subhanahu wa ta’ala- untuk menjadi
generasi “Rabbani”, sehingga kita bisa meraih derajat ketakwaan di sisiNya
dengan penuh istiqomah serta dimasukkan ke dalam SurgaNya kelak di Yaumil
Akhir. Aamiin… Aamiin… Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…
“Tidak wajar bagi
seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah penyembahku
bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya’.” (QS. Ali ‘Imran [3]:79).
Baca Tulisan Lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar